“Wahai manusia, aku pernah membolehkan kamu melakukan mut’ah dengan
wanita. Kemudian Allah telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat.
Oleh karena itu, jika masih ada yang memiliki wanita yang diperoleh
melalui jalan mut’ah maka hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu
mengambil sedikit pun dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka,”
(HR. Muslim)
BAGI agama Syiah, Ali bin Abi Thalib adalah sosok imam maksum, suci
tanpa cela. Titahnya harus ditaati, mengingat posisinya sebagai imam di
mata Syiah, yang meyakini bahwa imam adalah penerus dari kenabian.
Sedangkan posisi Ali, masih menurut kaum Syiah, adalah imam pertama
setelah Nabi wafat, yang konon dilantik sendiri oleh Rasulullah.
Bagi Syiah, Ali-lah orangnya yang ditunjuk untuk menjadi penerus misi
kenabian, beserta sebelas orang anak cucunya. menjadi penerus kenabian
artinya meneruskan lagi misi kenabian, yaitu menyampaikan risalah Allah
pada manusia di bumi. Tentunya ketika menyampaikan misinya tidak
berbohong dan tidak keliru, karena para imam –menurut Syiah- adalah
maksum, terjaga dari salah dan lupa, maka tidak mungkin keliru dalam
menyampaikan amanat risalah, juga tidak mungkin berbohong ketika
menyampaikan hadits Nabi.
Syiah Menghalalkan Mut’ah & Membenci Abu Bakar, Umar, Ustman & Muawiyah
Salah satu hal yang sangat dihalalkan dalam Syiah adalah nikah mut’ah, seperti dinyatakan oleh Al Hurr Al Amili dalam Wasa’ilu Syi’ah jilid
21 hal 13. Al Amili mengatakan : “Bolehnya nikah mut’ah adalah perkara
aksiomatis dalam mazhab Syiah”. Bukan Al Hurr Al Amili sendirian yang
menganggap bolehnya nikah mut’ah adalah hal aksiomatis dalam mazhab
Syiah, Al Majlisi juga menyatakan demikian: “Beberapa hal yang termasuk
perkara aksiomatis dalam agama syi’ah,” kata Majlisi, “adalah
menghalalkan mut’ah, haji tamattu’ dan memusuhi Abubakar, Umar, Utsman
dan Muawiyah.” Hal ini Bisa dilihat dalam Al I’tiqad hal 90-91.
Yang disebut aksiomatis adalah hal penting yang harus diyakini oleh
penganut Syiah. Begitulah penganut Syiah di masa lalu, hari ini dan
sampai akhir nanti akan terus meyakini bolehnya nikah mut’ah. Sesuatu
bisa menjadi aksiomatis dalam Syiah mestinya karena sudah digariskan
oleh para imam Syiah yang 12, yang menjadi rujukan Syiah selama ini
dalam penetapan hukum, paling tidak itulah pengakuan Syiah selama ini,
yaitu mereka merujuk pada penjelasan para imam. Apalagi imam pertama
mereka setelah Nabi yaitu Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi yang –
lagi-lagi menurut Syiah- paling mengetahui ajaran Islam dibanding
sahabat lain.
Namun bagaimana sikap Ali sendiri terhadap nikah Mut’ah?
Ahlussunnah menganggap nikah mut’ah adalah haram sampai hari kiamat,
meskipun pada beberapa saat pernah dibolehkan oleh Rasulullah SAW.
Pengharaman ini berdasarkan keterangan dari Rasulullah SAW sendiri yang
mengharamkannya. Beberapa tahun kemudian Umar menyampaikan pengharaman
tersebut pada para sahabat Nabi ketika menjabat khalifah. Namun syi’ah
selalu menghujat ahlussunnah yang dalam hal ini mengikuti sabda Nabi,
dan menuduh Umar –lah- yang mengharamkan nikah mut’ah, bukan Nabi.
Artinya di sini Umar telah mengharamkan perbuatan yang halal
dilakukan. Dan hujatan-hujatan lainnya, yang intinya adalah “Rasulullah
tidak pernah mengharamkan mut’ah, karena yang mengharamkan adalah Umar
mengapa kita mengikuti Umar dan meninggalkan apa yang dihalalkan oleh
Rasulullah SAW?” Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Ali, Haramkan Mut’ah Dengan Tegas
Namun ada yang janggal di sini, ternyata Ali malah dengan tegas
meriwayatkan sabda Nabi tentang haramnya nikah mut’ah. Riwayat ini
tercantum dalam kitab Tahdzibul Ahkam karya At Thusi pada jilid 7
halaman 251, dengan sanadnya dari :
Muhammad bin Yahya, dari Abu Ja’far dari Abul Jauza’ dari Husein bin
Alwan dari Amr bin Khalid dari Zaid bin Ali dari ayahnya dari kakeknya
dari Ali [Alaihissalam] bersabda: “Rasulullah mengharamkan pada perang
Khaibar daging keledai jinak dan nikah mut’ah.”
Di sini Ali mendengar sendiri sabda Nabi dan menyampaikannya pada umat. Ada beberapa hal yang patut digarisbawahi di sini.
Pertama, bagaimana bisa ulama Syiah dan ustadz Syiah tidak
menyampaikan hal ini pada umatnya? Hingga umatnya dengan suka ria
melakukan mut’ah yang memang mengasyikkan di dunia namun merugikan
secara akhirat dan bahkan tak masuk diakal—karena praktiknya tak ubahnya
hewan saja.
Kedua, ketika para ulama Syiah menghadapi hadits shahih dari
Nabi maupun imam yang tidak sesuai dengan mazhab Syiah, mereka
mengatakan bahwa Nabi atau imam mengatakan hadits itu dalam kondisi
taqiyah, artinya yang disabdakan tidaklah benar adanya. Misalnya hadits
ini, ketika ulama Syiah tidak mampu menolak hadits ini karena sanadnya
yang shahih, maka mereka mengatakan bahwa hadits ini disabdakan dalam
kondisi taqiyah. Maksudnya adalah Nabi sebenarnya tidak mensabdakan
hadits ini tetapi Ali bertaqiyah hingga menyebutkan hadits ini.
Maka jelaslah Ali mengikuti sabda Nabi SAW, bahwa nikah mut’ah adalah
haram dilakukan saat ini, meskipun pernah dihalalkan oleh Nabi dalam
beberapa kondisi, yaitu dalam kondisi perang. Tetapi Syiah saat ini
menghalalkan mut’ah dalam segala kondisi, tidak hanya ketika kondisi
perang. Ini bedanya nikah mut’ah yang pernah dibolehkan pada jaman Nabi
SAW dan mut’ah yang menjadi sebuah aksioma dalam mazhab Syiah hari ini.
Dari sejak awal, Ali sendiri mengusir Abdullah bin Saba dan
menyatakan Syiah itu sesat. Bagaimana bisa Ali bin Abi Thalib kemudian
menghalalkannya?
https://www.islampos.com/ali-bin-abi-thalib-pun-mengharamkan-mutah-34792/
0 comments:
Post a Comment