Saturday, 24 January 2015

Ali Bin Abi Thalib Pun Mengharamkan Mut’ah

“Wahai manusia, aku pernah membolehkan kamu melakukan mut’ah dengan wanita. Kemudian Allah telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat. Oleh karena itu, jika masih ada yang memiliki wanita yang diperoleh melalui jalan mut’ah maka hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sedikit pun dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka,” (HR. Muslim)
BAGI agama Syiah, Ali bin Abi Thalib adalah sosok imam maksum, suci tanpa cela. Titahnya harus ditaati, mengingat posisinya sebagai imam di mata Syiah, yang meyakini bahwa imam adalah penerus dari kenabian. Sedangkan posisi Ali, masih menurut kaum Syiah, adalah imam pertama setelah Nabi wafat, yang konon dilantik sendiri oleh Rasulullah.
Bagi Syiah, Ali-lah orangnya yang ditunjuk untuk menjadi penerus misi kenabian, beserta sebelas orang anak cucunya. menjadi penerus kenabian artinya meneruskan lagi misi kenabian, yaitu menyampaikan risalah Allah pada manusia di bumi. Tentunya ketika menyampaikan misinya tidak berbohong dan tidak keliru, karena para imam –menurut Syiah- adalah maksum, terjaga dari salah dan lupa, maka tidak mungkin keliru dalam menyampaikan amanat risalah, juga tidak mungkin berbohong ketika menyampaikan hadits Nabi.
Syiah Menghalalkan Mut’ah & Membenci Abu Bakar, Umar, Ustman & Muawiyah
Salah satu hal yang sangat dihalalkan dalam Syiah adalah nikah mut’ah, seperti dinyatakan oleh Al Hurr Al Amili dalam Wasa’ilu Syi’ah jilid 21 hal 13. Al Amili mengatakan : “Bolehnya nikah mut’ah adalah perkara aksiomatis dalam mazhab Syiah”. Bukan Al Hurr Al Amili sendirian yang menganggap bolehnya nikah mut’ah adalah hal aksiomatis dalam mazhab Syiah, Al Majlisi juga menyatakan demikian: “Beberapa hal yang termasuk perkara aksiomatis dalam agama syi’ah,” kata Majlisi, “adalah menghalalkan mut’ah, haji tamattu’ dan memusuhi Abubakar, Umar, Utsman dan Muawiyah.” Hal ini Bisa dilihat dalam Al I’tiqad hal 90-91.
Yang disebut aksiomatis adalah hal penting yang harus diyakini oleh penganut Syiah. Begitulah penganut Syiah di masa lalu, hari ini dan sampai akhir nanti akan terus meyakini bolehnya nikah mut’ah. Sesuatu bisa menjadi aksiomatis dalam Syiah mestinya karena sudah digariskan oleh para imam Syiah yang 12, yang menjadi rujukan Syiah selama ini dalam penetapan hukum, paling tidak itulah pengakuan Syiah selama ini, yaitu mereka merujuk pada penjelasan para imam. Apalagi imam pertama mereka setelah Nabi yaitu Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi yang – lagi-lagi menurut Syiah- paling mengetahui ajaran Islam dibanding sahabat lain.
Namun bagaimana sikap Ali sendiri terhadap nikah Mut’ah?
Ahlussunnah menganggap nikah mut’ah adalah haram sampai hari kiamat, meskipun pada beberapa saat pernah dibolehkan oleh Rasulullah SAW. Pengharaman ini berdasarkan keterangan dari Rasulullah SAW sendiri yang mengharamkannya. Beberapa tahun kemudian Umar menyampaikan pengharaman tersebut pada para sahabat Nabi ketika menjabat khalifah. Namun syi’ah selalu menghujat ahlussunnah yang dalam hal ini mengikuti sabda Nabi, dan menuduh Umar –lah- yang mengharamkan nikah mut’ah, bukan Nabi.
Artinya di sini Umar telah mengharamkan perbuatan yang halal dilakukan. Dan hujatan-hujatan lainnya, yang intinya adalah “Rasulullah tidak pernah mengharamkan mut’ah, karena yang mengharamkan adalah Umar mengapa kita mengikuti Umar dan meninggalkan apa yang dihalalkan oleh Rasulullah SAW?” Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Ali, Haramkan Mut’ah Dengan Tegas
Namun ada yang janggal di sini, ternyata Ali malah dengan tegas meriwayatkan sabda Nabi tentang haramnya nikah mut’ah. Riwayat ini tercantum dalam kitab Tahdzibul Ahkam karya At Thusi pada jilid 7 halaman 251, dengan sanadnya dari :
Muhammad bin Yahya, dari Abu Ja’far dari Abul Jauza’ dari Husein bin Alwan dari Amr bin Khalid dari Zaid bin Ali dari ayahnya dari kakeknya dari Ali [Alaihissalam] bersabda: “Rasulullah mengharamkan pada perang Khaibar daging keledai jinak dan nikah mut’ah.”
Di sini Ali mendengar sendiri sabda Nabi dan menyampaikannya pada umat. Ada beberapa hal yang patut digarisbawahi di sini.
Pertama, bagaimana bisa ulama Syiah dan ustadz Syiah tidak menyampaikan hal ini pada umatnya? Hingga umatnya dengan suka ria melakukan mut’ah yang memang mengasyikkan di dunia namun merugikan secara akhirat dan bahkan tak masuk diakal—karena praktiknya tak ubahnya hewan saja.
Kedua, ketika para ulama Syiah menghadapi hadits shahih dari Nabi maupun imam yang tidak sesuai dengan mazhab Syiah, mereka mengatakan bahwa Nabi atau imam mengatakan hadits itu dalam kondisi taqiyah, artinya yang disabdakan tidaklah benar adanya. Misalnya hadits ini, ketika ulama Syiah tidak mampu menolak hadits ini karena sanadnya yang shahih, maka mereka mengatakan bahwa hadits ini disabdakan dalam kondisi taqiyah. Maksudnya adalah Nabi sebenarnya tidak mensabdakan hadits ini tetapi Ali bertaqiyah hingga menyebutkan hadits ini.
Maka jelaslah Ali mengikuti sabda Nabi SAW, bahwa nikah mut’ah adalah haram dilakukan saat ini, meskipun pernah dihalalkan oleh Nabi dalam beberapa kondisi, yaitu dalam kondisi perang. Tetapi Syiah saat ini menghalalkan mut’ah dalam segala kondisi, tidak hanya ketika kondisi perang. Ini bedanya nikah mut’ah yang pernah dibolehkan pada jaman Nabi SAW dan mut’ah yang menjadi sebuah aksioma dalam mazhab Syiah hari ini.
Dari sejak awal, Ali sendiri mengusir Abdullah bin Saba dan menyatakan Syiah itu sesat. Bagaimana bisa Ali bin Abi Thalib kemudian menghalalkannya?

https://www.islampos.com/ali-bin-abi-thalib-pun-mengharamkan-mutah-34792/

0 comments:

Post a Comment