“Jika seorang
manusia meninggal dunia, maka pahala amalnya akan terputus, kecuali tiga
hal: Shadaqah Jariyyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang
mendoakan kedua orang tuanya
PROBLEM karakter dan moral di
zaman ini tidak saja melanda mereka yang masih berstatus sebagai
pelajar, tetapi juga orang tua, termasuk para guru yang dikenal sebagai
pendidik. Kasus terbaru tentang pelecehan seksual yang dilakukan oknum
guru kepada murid di Jakarta, menambah statistic tercorengnya dunia
pendidikan kita.
Tentu, kita semua prihatin terhadap
masalah seperti itu. Belum lagi kalau melihat para guru turun ke jalan
menuntut hak-hak mereka, sedih rasanya. Mengapa nasib para guru di
negeri ini sungguh sangat memprihatinkan, sampai-sampai mereka yang
terhormat harus sama seperti buruh pabrik.
Terlepas dari apapun problem yang melanda
dunia pendidikan saat ini. Kewajiban setiap guru adalah melahirkan
generasi Qur’ani, generasi Rabbani. Jadi, sudah semestinya setiap guru
memperhatikan apa saja yang perlu diupayakan agar profesinya sebagai
guru benar-benar dapat mendatangkan berkah dan ridha Allah Subhanahu
Wata’ala.
Niat Tulus Lillahi Ta’ala
Kendala apapun Terlepas dari apapun yang
kini menjadi kekurangan dunia pendidikan, termasuk perhatian pemerintah
terhadap guru, serta banyaknya kualitas guru yang belum sesuai harapan,
tidak mengharuskan para guru salah pilih dalam mengambil keputusan. Para
guru harus tetap optimis.
Sebab hakikat kehidupan ini sesungguhnya
bukan ada di dunia, tetapi di akhirat. Maka dari itu mari kembali
melihat niat kita menjadi guru. Apakah niat menjadi guru memang untuk
hidup mewah atau ingin melahirkan generasi rabbani? Jika kita ingin
mendapat ridha Allah dengan menjadi guru, sungguh pilihan itu adalah
pilihan yang sangat mulia.
Menurut Abu Dawud niat dalam Islam adalah
separuh dari agama Islam. Artinya, niat adalah perkara penting. Dan,
siapa saja yang ingin mendapat kebahagiaan yang hakiki hendaknya setiap
amal perbuatannya diniatkan karena Allah Subhanahu Wata’ala. Karena
setiap pekerjaan tergantung pada niat.
Rasulullah shallallahu alayhi wasallam
bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat, dan
sesungguhnya setiap orang sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari Muslim).
Membangun Karakter Dasar
Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam
bukunya Tarbiyatul Aulad dikatakan bahwa seorang guru hendaknya memiliki
lima karakter dasar.
Pertama, IKHLAS. Para guru hendaknya
mencanangkan niatnya semata-mata untuk Allah dalam seluruh pekerjaan
edukatifnya, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan ataupun
hukuman.
Ikhlas itu “melupakan pandangan manusia
dengan selalu memandang kepada Allah Subhanahu Wata’ala” sebagaimana
sabda Nabi; “Engkau beribadah kepada Allah seakan akan engkau
melihat-Nya dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Ia
melihatmu.”
Dalam konteks ikhlas ini Rasulullah
shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang dikerjakan secara tulus
(ikhlas), semata-mata untuk-Nya, dan mengharapkan keridhaan-Nya.” (HR.
Abu Dawud).
Kedua, TAKWA. Setelah ikhlas, seorang guru
harus takwa sebagaimana telah didefinisikan oleh para ulama, yaitu:
menjaga agar Allah tidak melihatmu di tempat larangan-Nya, dan jangan
sampai Anda tidak didapatkan di tempat perintah-Nya. Mengerjakan apa
yang diperintahkan Allah dan meninggalkan larangan-Nya.
وَأَنْ أَقِيمُواْ الصَّلاةَ وَاتَّقُوهُ وَهُوَ الَّذِيَ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Dirikannya shalat serta bertakwa kepadaNya.” [QS: al an’am: 72]
Dalam bahasan takwa ini, Umar bin
Khaththab pernah berdialog dengan Ubay bi Ka’ab. Sayyidina Umar
bertanya, “Apa yang dimaksud takwa itu?” Ubay pun menjawab, “Apakah kamu
pernah berjalan pada jalan yang berduri?”
Umar menjawab, “Ya, pernah”. Ubay pun
bertanya lagi, “Apa yang kamu lakukan?” “Aku singkirkan duri itu,” jawab
Umar. Ubay pun berkata, “Itulah takwa”.
Begitu pentingnya takwa ini, Allah Ta’ala
pun mengulang-ulangnya dalam banyak ayat. Sekedar untuk menyebut di
antaranya teradapat pada QS. 3: 102, QS. 33: 70, QS. 59 : 18, dan QS 22 :
1.
Oleh karena itu kriteria manusia yang
paling mulia dalam Islam bukanlah mereka yang memegang kekuasaan atau
pun menguasai harta kekayaan, tetapi siapa yang paling takwa.
Rasulullah bersabda, “Ditanyakan, wahai Rasululah: siapakah manusia yang paling mulia?” Rasulullah bersabda, “Yang paling takwa di antara mereka”.
Rasulullah bersabda, “Ditanyakan, wahai Rasululah: siapakah manusia yang paling mulia?” Rasulullah bersabda, “Yang paling takwa di antara mereka”.
Lebih spesifik Rasulullah juga berpesan
takwa kepada para guru. “Takwalah kepada Allah, berlaku adillah kepada
anak-anakmu, sebagaimana kamu menginginkan mereka semuanya berbakti
kepadamu.” (HR. Thabrani).
Jadi, sangat penting setiap guru memiliki
mental takwa ini. Jika tidak, maka anak akan tumbuh menyimpang,
terombang-ambing dalam kerusakan, kesesatan dan kebodohan. Logikanya
sederhana, bagaimana anak murid akan takwa jika gurunya justru tidak
memberi keteladanan.
Ketiga, ILMU. Hal ini sudah barang tentu
tidak perlu dibahas panjang lebar. Karena guru adalah penyampai ilmu
maka sudah selayaknya guru gemar menuntut ilmu. Sebab menuntut ilmu
dalam Islam adalah kewajiban.
Keutamaan lain yang bisa diperoleh seorang
pendidik adalah pahala yang tidak terputus, selama ilmu yang ia ajarkan
terus diamalkan dan diajarkan kepada orang lain. Hal ini sebagaimana
disabdakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika seorang
manusia meninggal dunia, maka pahala amalnya akan terputus, kecuali tiga
hal: Shadaqah Jariyyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang
mendoakan kedua orang tuanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat, SABAR. Termasuk sifat mendasar
yang dapat menolong keberhasilan guru dalam tugas mendidik adalah sifat
sabar, yang dengan sifat itu anak akan tertarik kepada gurunya. Dengan
kesabaran, anak murid akan berhias dengan akhlak yang terpuji, dan
terjauh dari perangai tercela. Apalagi, mengajar anak di zaman sekarang,
yang nota bene lebih banyak menguras energi dan perasaan.
Oleh karena itu, Allah memberikan
peringatan berulang kali kepada kita agar tetap sabar dalam upaya
apapun, lebih-lebih dalam mendidik generasi masa depan. Jadi, apapun
tantangan dan hambatan seorang guru dalam mendidik hendaknya sabar
menjadi pilihan utama.
“Kecuali orang-orang yang sabar (terhadap
bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan
dan pahala yang besar.” (QS. 11 : 11).
Kelima, BERTANGGUNG JAWAB. Tanggung jawab
ini menurut Nashih Ulwan meliputi aspek keimanan, tingkah laku
keseharian, kesehatan jasmani-ruhani, maupun aspek sosialnya. Jadi,
bukan semata-mata tanggung jawab guru konseling jika ada anak tidak
disiplin. Semua guru, termasuk kepala sekolah turut bertanggung jawab.
Karena setiap guru adalah pemimpin bagi anak muridnya.
Dalam hal ini Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang
kepemimpinannya, apakah dipelihara atau disia-siakan-nya, sehingga
bertanya kepada laki-laki tentang keluarganya.” (HR: Ibn Hibban).
Ketika seorang guru memiliki lima karakter
mendasar sebagai pendidik, insya Allah kerusakan, kelemahan atau
kekurangan di dunia pendidikan dapat dieliminir secara menyeluruh.
Karena sebagus apapun sistim pendidikan, jika gurunya tidak memiliki
karakter dasar itu, maka terseok-seoklah pendidikan kita. Wallahu
a’lam.*/Imam Nawawi
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
0 comments:
Post a Comment