Thursday 22 January 2015

Sejarah Masjid Raya Kota Pekanbaru

Masjid Raya Pekanbaru dibangun pada abad ke 18 tepat 1762 sehingga merupakan mesjid tertua di Pekanbaru. Mesjid yang terletak di Jalan Senapelan Kecamatan Senapelan ini memiliki arsitektur tradisional. Mesjid yang juga merupakan bukti Kerajaan Siak Sri Indrapura pernah bertahta di Pekanbaru (Senapelan) yaitu di masa Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah sebagai Sultan Siak ke-4 dan diteruskan pada masa Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah sebagai Sultan Siak ke-5.

Sejarah berdirinya Mesjid Raya Pekanbaru dikisahkan ketika di masa kekuasaan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah memindahkan dan menjadikan Senapelan (sekarang Pekanbaru) sebagai Pusat Kerajaan Siak. Sudah menjadi adat Raja Melayu saat itu, pemindahan pusat kerajaan harus diikuti dengan pembangunan "Istana Raja", "Balai Kerapatan Adat", dan "Mesjid". Ketiga unsur tersebut wajib dibangun sebagai representasi dari unsur pemerintahan, adat dan ulama (agama) yang biasa disebut "Tali Berpilin Tiga" atau "Tungku Tiga Sejarangan".

Pada penghujung tahun 1762, dilakukan upacara "menaiki" ketiga bangunan tersebut. Bangunan istana diberi nama "Istana Bukit" balai kerapatan adat disebut "Balai Payung Sekaki" dan mesjid diberi nama "Mesjid Alam" (yang mengikut kepada nama kecil sultan Alamuddin yaitu Raja Alam). Pada tahun 1766, Sultan Alamuddin Syah meninggal dan diberi gelar MARHUM BUKIT. Sultan Alamuddin Syah digantikan oleh puteranya Tengku Muhammad Ali yang bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah. Pada masa pemerintahannya (1766-1779), Senapelan berkembang pesat dengan aktivitas perdagangannya. Para pedagang datang dari segala penjuru. Maka untuk menampung arus perdagangan tersebut, dibuatlah sebuah "pekan" atau pasar yang baru, pekan yang baru inilah kemudian menjadi nama "Pekanbaru" sekarang ini.

Perkembangan yang begitu pesat menyebabkan Mesjid Alam tidak lagi cukup menampung para jemaah yang beribadah maupun yang menuntut ilmu agama di sana. Apalagi Sayid Osman, seorang ulama, menggunakan mesjid tersebut sebagai pusat dakwah menyebarkan Agama Islam. Atas dasar musyawarah Sultan Muhammad ALi, Sayid Osman, Datuk Empat Suku beserta para pembesar lainnya, disepakati untuk memperbesar mesjid tersebut. Pada tahun 1775, pekerjaan membesarkan bangunan mesjid dilakukan. Menurut sumber lokal, bangunan msjid yang diperbaharui tersebut, keempat "Tiang Seri" disediakan oleh Datuk Empat Suku, "Tiang Tua" disediakan oleh Sayid Osman, "Kubah Mesjid" disediakan oleh Sultan Muhammad Ali, sedangkan pengerjaannya dilakukan oleh seluruh rakyat. Cara ini menunjukkan persebatian/kesatuan antara Pemerintah, Ulama, Adat dan masyarakat. Acuan ini kemudian dikekalkan di Kerajaan Siak, yang mengandung maksud tertentu pula :
Sultan : Pucuk pemerintahan pemegang daulat
Datuk Empat Suku : Tiang pemerintahan pemegang adat
Ulama : Tiang agama pemegang hukum syarak
Rakyat : Darah daging kerajaan pemegang Soko Pusaka, petuah dan amanah

Diperbesarnya mesjid ini diikuti dengan penggantian nama mesjid menjadi Mesjid Nur Alam yang berarti memberikan cahaya ke alam sekitarnya dan memberikan penerangan bagi hati ummat manusia.

Pada tahun 1779, Sultan Muhammad Ali diganti oleh iparnya Sultan Ismail (1779-1781) yang kemudian setelah mangkat digantikan oleh Sultan Yahya (1781-1784). Sultan Yahya diganti oleh putera Sayid Osman yaitu Tengku Udo Sayid Ali bergelar Assyaidissyarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1784-1810). Pada masa pemerintahannya, pusat Kerajaan Siak dipindahkan ke Mempura Kecil (Kota Siak sekarang). Masa itu juga, Mesjid Nur Alam diberi selasar (teras) yang dipergunakan untuk tempat peziarah duduk, sekaligus tempat pemberian/pelafasan gelar. Konon sejak itu, banyaklah mesjid dibangun menggunakan selsar di sekeliling bangunan, sekurang-kurangnya di salah satu sisi bangunan.

Pada masa pemerintahan Sultan Ismail II yang bergelar Sultan Assyadisyarif Ismail Abdul Jalil Syaifuddin (1827-1864), Mesjid Nur Alam diperbaiki lagi dan memperbesar selasarnya. Sultan Ismail II mangkat pada tahun 1864 dan digantikan puteranya Tengku Sayid Kasim (Sultan Syarif Kasim Awal). Pada masa ini tidak ada perubahan yang mendasar pada bangunan mesjid. Perubahan baru terjadi ketika Tengku Putera Sayid Hasyil memegang tampuk pemerintahan (1889-1908). Pada masa itu, Mesjid Nur Alam dipindahkan 40 langkah dari posisi semula ke arah matahari hidup/terbit (timur). Dengan dipindahkannya posisi mesjid ini, maka mesjid ini terkenal dengan Mesjid Sultan yang berarti dipindahkan oleh Sultan. Karena bangunannya lebih luas, maka disebut juga Mesjid Besar yang kadang juga disebut Mesjid Raya.

Sultan Sayid (Said) Hasyim mangkat pada tahun 1908 dan digantikan puteranya Tengku Said Kasim yang bergelar Sultan Assyaidissyarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin yang biasa disebut Sultan Syarif Kasim II. Sultan memerintah sampai kerajaan Siak berakhir di tahun 1946 ketika bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada tahhu 1935, Sultan Syarif Kasim II memutuskan untuk membangun mesjid lebih besar dengan bahan semen dan batu yang letaknya berdekatan dengan mesjid lama yang sudah ada, dengan dasar pertimbangan hakikatnya masih menyatu dengan mesjid lama. Maka dalam tahun itu juga dimulailah pembangunan mesjid yang dimaksud, yang namanya tetap menjadi Mesjid Raya. Pemilihan lokasi yang berdekatan ini dengan pertimbangan sebagi berikut :
Mesjid baru hakikatnya masih menyatu dengan mesjid lama
Mesjid baru lokasinya berdekatan dengan makam-makam nenek moyang beliau
Mesjid baru dibangun supaya lebih tahan dan lebih besar
Mesjid baru ini dibangun sebagai tanda ingat beliau kepada nenek moyangnya yang telah berjasa mengembangkan Islam di Kerajaan Siak dan sekitarnya.

0 comments:

Post a Comment