Ahmad bin Harb
berkata, “Tidak ada yang bermanfaat bagi hati seorang hamba selain
bergaul dengan orang-orang shalih dan menyaksikan amal mereka
SIAPAKAH teman-teman kita? Apakah
mereka mendatangkan ketentraman, kebahagiaan, dan semakin mendekatkan
kita kepada Allah? Atau justru sebaliknya, mereka menjadi sumber
kegelisahan, kesedihan, kelalaian dan menjauhkan kita dari Allah
Subhanahu Wata’ala dan akhirat?
Mari sejenak merenungkan diri kita
sendiri, juga orang-orang di sekitar kita, selagi Allah masih memberi
kesempatan. Sebab, hidup ini hanya sekali. Tidak ada peluang kedua.
Sebagai Muslim, kita telah diajari bagaimana menilai teman-teman kita. Tersedia sebuah kriteria sederhana dan praktis.
Suatu ketika, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada para Sahabat, “Maukah kalian
kuberitahu siapa orang-orang terbaik di antara kalian?” Mereka menjawab,
“Mau, ya Rasulullah.” Beliau melanjutkan, “Yaitu, orang-orang yang jika
mereka terlihat (oleh kalian), maka mengingatkan kepada Allah.” Beliau
kemudian bersabda lagi, “Maukah kalian kuberitahu siapa orang-orang
terburuk di antara kalian? Yaitu, orang yang kesana-kemari menebar
fitnah, yang suka merusak kesetiaan di antara orang-orang yang saling
mencintai, dan yang mengusahakan timbulnya kerusakan serta dosa di
tengah-tengah orang-orang yang bersih (kehidupannya).” (Hadits riwayat
Ahmad, sanad-nya hasan li ghairihi).
Jadi, menurut beliau, ciri khas orang yang baik adalah jika kita melihat mereka maka kita akan teringat kepada Allah.
Berapa banyak orang seperti ini di sekitar
kita; yang kepribadian serta tindakannya menyejukkan hati dan
meningkatkan keimanan, menambah rasa syukur dan menenangkan jiwa? Berapa
banyak orang yang membuat kita segan bermaksiat di dekatnya, membuat
kita lebih berhati-hati, dan menyemangati ibadah? Atau, justru
sebaliknya, justru lebih banyak orang yang semakin menjauhkan kita dari
Allah, menambah kegilaan kepada dunia, merongrong jiwa dan mengotori
hati, mengobarkan syahwat dan mengerdilkan taqwa? Dan, jika kriteria ini
diterapkan kepada diri kita sendiri, sebenarnya termasuk kelompok
manakah kita?
Maka, sangat baik bagi kita untuk selalu
mawas diri. Sebab, hati manusia sebenarnya sangat lemah dan mudah
berubah. Oleh karenanya, hati disebut al-qalbu dalam bahasa Arab,
artinya berbolak-balik. Dan, itulah gambaran dari hati manusia yang
sesungguhnya.
Cobalah hal paling sederhana. Bukalah
surat kabar hari ini, dan bacalah. Mungkin, awalnya Anda geregetan oleh
tingkah para koruptor; setelah itu iba menyaksikan para korban bencana
alam; selanjutnya terkagum-kagum oleh berita sains-teknologi; lalu
dibuat heran oleh isu-isu dunia selebritis; dan kemudian disuguhi
ulasan-ulasan olahraga yang beraneka ragam. Dalam sekali duduk, sudah
berapa kali hati kita berubah? Bagaimana jika sehari?
Oleh karenanya, kita perlu memperhatikan
baik-baik pengaruh macam apa yang akan memasuki hati kita. Ahmad bin
Harb berkata, “Tidak ada yang bermanfaat bagi hati seorang hamba selain
bergaul dengan orang-orang shalih dan menyaksikan amal mereka.
Sebaliknya, tidak ada yang berbahaya bagi hati seorang hamba selain
bergaul dengan orang-orang fasiq (ahli maksiat) dan melihat amal
mereka.”
Itu bermakna pula, bahwa kita bisa
memutuskan sejak masih di dunia ini siapa saja yang kelak menjadi
teman-teman kita di akhirat. Dengan izin Allah, kita pasti akan
bersama-sama dengan mereka disana. Sebagai misal, jika di dunia ini kita
selalu bersama orang-orang yang tidak memperdulikan shalat, hidup penuh
kesia-siaan, dan tidak mengenal halal-haram, sementara kita sendiri
tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan justru larut, maka apakah
yang bisa diharapkan pada Hari Perhitungan kelak? Jelasnya, pengaruh
teman memang tidak bisa diabaikan.
Ibnu Abi Dunia meriwayatkan dalam kitab
al-Ikhwan, bahwa Washil maula Abu ‘Uyainah berkata: aku pernah bersama
Muhammad bin Wasi’ di Marw. Lalu, ‘Atha’ bin Abu Muslim al-Khurasani
mendatangi beliau bersama anaknya, ‘Utsman. ‘Atha’ kemudian berkata
kepada Muhammad, “Amal apakah yang paling utama di dunia ini?” Beliau
menjawab, “Menemani teman dan bercakap-cakap dengan saudara, apabila
mereka saling bersahabat di atas kebajikan dan takwa.” Beliau
melanjutkan, “Pada saat itu, Allah akan menghadirkan kemanisan di antara
mereka, sehingga mereka terhubung dan saling menyambungkan hubungan.
Tidak ada kebaikan dalam menemani teman dan bercakap-cakap dengan
saudara jika mereka adalah budak dari perutnya masing-masing, sebab jika
mereka seperti ini maka satu sama lain akan saling menghalangi dari
akhirat.”
Dengan kata lain, segenap persahabatan,
pernikahan, organisasi, parpol, juga kehidupan berbangsa dan bernegara,
hanya akan melahirkan kebahagiaan jika masing-masing orang di dalamnya
diikat oleh nilai-nilai kebajikan dan ketakwaan.
Sebaliknya, jika mereka hanya terikat oleh
“kepentingan perutnya”, maka hasilnya pasti runyam. Setiap orang akan
dengan mudah saling mengintai dan menjegal demi keuntungan pribadinya.
Jangankan saling menolong, saling perduli pun tidak. Yang ada hanyalah
jiwa-jiwa oportunis. Tentu saja, semua orang akan merasa terancam dan
tidak tenang, sehingga kebahagiaan hakiki sukar didapatkan.
Oleh karenanya, Rasulullah mengajarkan
kepada kita untuk mengedepankan kriteria “ketaatan beragama” dalam
memilih pasangan (suami/istri). Logika di baliknya cukup jelas, sebab
ketaatan beragama merupakan benih tanaman kebajikan, ketakwaan, dan
akhlak mulia; yang seterusnya akan membuahkan kebahagiaan. Jika sebuah
pernikahan tidak memperdulikan aspek ini, maka ia hanya merupakan
“kontrak” yang menjemukan dan memenjara. Tidak lama lagi keduanya akan
bosan, dan justru sangat bersyukur jika bisa bercerai secepat mungkin.
Subhanallah!
Maka, perhatikanlah siapa orang-orang di
sekitar kita. Sebab, kebahagiaan kita – baik di dunia maupun akhirat –
turut ditentukan oleh mereka. Wallahu a’lam.*/Alimin Mukhtar
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
0 comments:
Post a Comment