Jika itu terjadi pada dunia internasional,
mungkin masih bisa dimaklumi, karena hegemoni Amerika dan Eropa
terhadap pemberitaan sungguh sangat kuat. Tetapi, jika hal serupa
terjadi di tanah air, maka di sini ada satu pertanyaan besar, mengapa
bisa terjadi? Padahal, para jurnalis di tanah air, sebagian besar juga
beragama Islam.
Tentu ini suatu kecerobohan. Sebab setiap
Muslim pada hakikatnya berkewajiban mendakwahkan kebenaran Islam bukan
malah menjatuhkannya, apalagi hanya atas nama profesi dan ambisi. Karena
dakwah di zaman modern tidak saja melalui mimbar Masjid, tetapi yang
lebih massif adalah melalui media.
Rasulullah telah memberikan perintah
kepada setiap Muslim untuk menyampaikan kebenaran walau satu ayat. Jadi,
dakwah tidak saja tugas para da’i, ustadz atau ulama semata, tetapi
juga para jurnalis dan pegiat media.
Berarti, seorang jurnalis terkena
kewajiban mendakwahkan Islam meski hanya satu ayat. Apalagi, tulisan
seorang jurnalis akan dibaca oleh ribuan bahkan mungkin jutaan mata.
Jika benar yang ditulisnya, maka pahala besar telah menantinya.
Sebaliknya, jika salah dengan disengaja, maka neraka siap melahapnya.
Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang
menyeru pada kebaikan di dalam Islam, baginya pahala atas perbuatan
baiknya itu dan pahala dari orang-orang yang mengikuti jejak kebaikannya
itu tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Siapa saja yang menyeru
pada keburukan di dalam Islam, baginya dosa atas perbuatan buruknya itu
dan dosa dari orang-orang yang mengikuti jejak keburukannya itu tanpa
mengurangi sedikitpun dosa mereka.” (HR Muslim).
Menyeru Kepada Kebenaran
Dengan demikian, dakwah (apalagi di zaman
modern seperti sekarang) juga menjadi tanggung jawab para jurnalis
Muslim. Oleh karena itu, sangat penting dan mendesak bagi setiap
jurnalis Muslim untuk benar-benar menjadikan profesi jurnalisnya sabagai
media untuk meraih keridhoan-Nya. Apalagi, ganjaran bagi jurnalis yang
mendakwahkan Islam sungguh sangat luar biasa.
Pernah suatu ketika, Rasulullah shallahu
alayhi wasallam bersabda, “Wahai Ali, sungguh sekiranya Allah memberi
hidayah kepada seseorang karena dakwahmu, itu lebih baik bagimu daripada
unta merah.” (HR. Bukhari-Muslim).
Unta merah kala itu adalah unta yang
paling didamba masyarakat Arab. Mungkin di zaman sekarang, unta merah
sama dengan kendaraan terbaik dan termahal kelas dunia. Tetapi,
kemewahan kendaraan itu sama sekali tidak berarti jika dibanding dengan
nikmat hidayah.
Artinya, menuliskan kebenaran tentang
Islam kemudian banyak orang yang tersadarkan dengan tulisan tersebut
sungguh sangat mulia. Jadi, sudah semestinya setiap jurnalis
memanfaatkan profesinya untuk meraih kemuliaan tersebut.
Di dalam al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman;
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ
بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ
إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Hai anakku, dirikanlah shalat, dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah).” (QS. Luqman [31]: 17).
Ayat tersebut secara gamblang
memerintahkan setiap Muslim unguk amar ma’ruf nahi mungkar. Di sini
jurnalis tentu termasuk di dalamnya, karena pekerjaannya adalah menulis
yang tulisannya akan dibaca banyak orang. Jadi, seorang jurnalis secara
langsung berkewajiban untuk mengajak manusia pada kebaikan dan menjauh
dari kemunkaran. Bukan sebaliknya.
Tugas para jurnalis (atau da’i pena)
adalah meluruskan segala macam bentuk pemberitaan yang tidak benar yang
dituduhkan terhadap Islam dan umat Islam. Tugas ini harus diperhatikan
betul oleh para jurnalis Muslim.
Identitas seorang jurnalis Muslim itu
melekat di setap dada wartawan/redaktur/penulis dan jajaran pengelola
media selama dirinya beridentitas seorang Muslim. Enteh medianya umum
–bahkan media sekuler– sekalipun. Sebab sebagai seorang Muslim,
kemuslimannya akan ditanya di akherat, bukan di media mana dia bekerja.
Bahkan, menurut pakar peradaban itu,
menulis atau dakwah bil qolam adalah bagian dari bentuk jihad fi
sabilillah. Jadi, betapa ruginya jika ada seorang Muslim berprofesi
sebagai jurnalis, tetapi tidak mau tahu (tidak peduli) terhadap segala
macam tuduhan miring yang ditimpakan kepada umat Islam dan Islam itu
sendiri.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah amanah
Allah Subhanahu Wata’ala kepada seluruh umat Islam (QS. 3 : 110). Jika
tidak, maka akan diharamkan keberkahan wahyu (al-Qur’an) dalam kehidupan
kita.
Tentu ini bukan perkara tanpa rintangan,
apalagi jika seorang Muslim berada pada media yang tidak memiliki visi
dakwah. Di sinilah kita patut merenungkan dengan kedalaman hati apa yang
dipesankan Luqman kepada putranya (generasinya) agar bersabar dengan
apa yang menimpa, sebagai konsekuensi dari menjalankan perintah Allah
untuk amar ma’ruf nahi munkar.
Allah Ta’ala berfirman;
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ
رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan tuhanmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalan-nya dan dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An Nahl [16]: 125).
Kekuatan Tulisan
Pepatah Yunani mengatakan, verba volant
scripta manent (ucapan akan hilang, sementara tulisan akan abadi). Bisa
dibayangkan jika seorang jurnalis Muslim menulis sesuatu yang salah
secara sengaja terhadap Islam, tulisan itu akan dibaca oleh banyak
manusia bahkan mungkin dari generasi ke generasi. Jika itu benar-benar
terjadi, maka terancam sia-sia amal ibadah yang telah dilakukannya.
Karena tulisan itu akan merusak cara berpikir orang lain.
Maka dari itu, selagi masih hidup di dunia, mari kita gunakan profesi sebagai seorang jurnalis untuk mendapatkan keridhoan Allah Ta’ala. Zaman dahulu memang belum ada surat kabar, tetapi para ulama tak pernah berhenti untuk menulis.
Maka dari itu, selagi masih hidup di dunia, mari kita gunakan profesi sebagai seorang jurnalis untuk mendapatkan keridhoan Allah Ta’ala. Zaman dahulu memang belum ada surat kabar, tetapi para ulama tak pernah berhenti untuk menulis.
Seorang Fakhrudin Al-Razi misalnya, beliau
mampu menulis kitab tidak kurang dari 120 judul dalam berbagai macam
disiplin ilmu. Semangat menulis itu hampir merata pada seluruh ulama
kala itu, mulai dari Imam Hanafi hingga Imam Ghazali, mulai dari Ibn
Sina hingga Buya Hamka. Hal ini menunjukkan bahwa tulisan memiliki peran
sangat vital.
Terkait dengan hal ini, Imam Zarkasyi,
mengatakan, “Andaikata murid saya tinggal satu, akan tetap saya ajar.
Yang satu ini sama dengan seribu,. Jika yang satu ini pun tidak ada,
saya akan mengajar dunia dengan pena.”
Jika mereka yang ulama memiliki tekad luar
biasa dalam kepenulisan, sudah selayaknya para jurnalis tidak kalah
bersemangat untuk melakukan hal yang sama. Paling tidak jangan menulis
hal-hal yang bisa menciderai umat Islam atau merusak ajaran Islam.
Apalagi secara sadar lebih memilih mengikuti arus
sekularisme-liberalisme yang membawa agenda deislamisasi.
Para jurnalis harus belajar kepada para
ulama dalam semangat menulis kebenaran. Satu di antaranya adalah Imam
Ghazali. Ia berusaha sekuat tenaga untuk membawa umat Islam dari
keterpurukan. Akhirnya, keluarlah karya monumentalnya, Ihya Ulumuddin
yang 50 tahun kemudian menjadi inspirasi penting bagi Shalahuddin
Al-Ayyubi untuk membawa Palestina menuju kemerdekaan dari penjajahan
tentara Salib Eropa.
Jadi, menulislah dengan niat memuliakan
Islam, bukan mengajak orang untuk salah paham apalagi membenci Islam,
hanya karena tulisan kita keliru, disalahpahami atau justru karena
kekeliruan bahasa yang kita gunakan.
Pertanyaannya, jika Anda saat ini bekerja
di media massa, apa yang akan Anda bawa kelak di hadapan Allah Subhanahu
Wata’ala atas semua huruf, kata, kalimat, opini, foto, berita yang
telah Anda siarkan? Apakah semua berita yang kita tulis itu telah
mendapat ridho Allah Subahanahu Wata’ala atau hanya untuk menyenangkan
sang redaktur/pimred atau pemilik perusahaan?
Benarkah semua itu akan membantu kita
lebih memudahkan hisab kita di yaumul qiyamah atau justru sebaliknya
akan menyulitkan kita dalam mahkamah Allah Subhanahu Wata’ala?*/Imam
Nawawi
Rep: Imam Nawawi
Editor: Cholis Akbar
0 comments:
Post a Comment