Friday 29 May 2015

Mengapa FODAMARA memakai Jubah?

Assalammualaikum Waroh Matullahi wabarokatu

Belakangan ini FODAMARA mendapat sorotan / dipandang dimata jama'ah Masjid Raya Kota Pekanbaru ataupun lainnya. 

Mengapa FODAMARA bisa memakai jubah? hal ini didasari dorongan dari semangat Ke-Islaman yang kuat, saat itu.
Banyak yang berAnggapan Jubah(Sunah Nabi) ini hanya cocok pada orang orang tua kita. namun, bagi FODAMARA itu tidak. karena saat ini Jubah adalah bagian dari IDENTITAS FODAMARA. kami menjadikan Jubah Sebagai Fashion. Tetapi tetap ketua Ikhwan FODAMARA menjelaskan bahwa memakai jubah bukan untuk 'gaya' namun "Berniatlah karna ingin mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW" karna kecintaan kita terhadap Nabi Muhammad Salallahualai wasalam.

Seperti yang diUngkapkan Ustadz Abdul Somad Lc.MA :
Antum pakai jubah itu termaksuk siar islam. mendakwahkan orang dengan menggunakan Pakaian Antum. Namun Se Iring memakainya jubah Akhlak juga harus diluruskan, tutur Ustadz Abdul Somad saat Event Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW 1436H diMasjid Raya Kota Pekanbaru (MASJID BERSEJARAH)


Hadits-hadits tentang gamis dan jubbah

1. عَنْ أُمِّسَلَمَةَ قَالَتْ : لَمْ يَكُنْ ثَوْبٌ أَحَبَّ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِوسَلَّمَ مِنَ الْقَمِيصِ
DariUmmu Salamah, ia berkata :”Tidaklah ditemukan pakaian yang paling dicintai Rasulullah selain dari pada gamis.”(HRIbnu Majah, al-Hakim, dan Abu Dawud)

2. عَنْ أُمِّسَلَمَةَ ، قَالَتْ : كَانَ أَحَبَّ الثِّيَابِ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقَمِيصُ
DariUmmu Salamah, ia berkata :”Sesungguhnya pakaian yang paling dicintai Rasulullah Saw adalah gamis.”(HR. an-Nasa’i danat-Tirmidzi)

4. عن أبي هريرة: أن النبي صلى الله عليه و سلم كان إذا لبس قميصا بدأ بميامنه
DariAbu Hurairah :”Sesungguhnya Nabi Saw tatkala hendak memakai gamis, maka ia memulainya dari sebelah kanan.”(HR an-Nasa’i)

5. حَدَّثَنَاعَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ قَالَ سَمِعْتُ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ-صلى الله عليه وسلم- تَقُولُ : مَا كَانَ شَىْءٌ مِنَ الثِّيَابِ أَحَبُّ إِلَى رَسُولِاللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنَ الْقَمِيصِ
Telah memberitahukan kepada kami ‘Abdullah bin Buraidah ia berkata, aku mendengar Ummu Salamah istri Nabi Saw berkata:”Tidak ada sesuatupun dari pakaian yang paling dicintai Rasulullah Saw selain daripada gamis.”(HRal-Baihaqi)

6. عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ يَلْبَسُ قَمِيصًا قَصِيرَ الْيَدَيْنِ، وَالطُّولِ.
DariIbnu ‘Abbas, ia berkata:”Sesungguhnya Rasulullah Saw sering memakai gamis yang lengannya pendek, dan terkadang yang lengannya panjang.”(HR.Ibnu Majah)

7. عَنْ مُغِيرَةَبْنِ شُعْبَةَ قَالَ : كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي سَفَرٍ فَقَالَيَا مُغِيرَةُ خُذِ الإِدَاوَةَ فَأَخَذْتُهَا فَانْطَلَقَ رَسُولُ اللهِ صلى اللهعليه وسلم حَتَّى تَوَارَى عَنِّي فَقَضَى حَاجَتَهُ ، وَعَلَيْهِ جُبَّةٌ شَأْمِيَّةٌفَذَهَبَ لِيُخْرِجَ يَدَهُ مِنْ كُمِّهَا فَضَاقَتْ فَأَخْرَجَ يَدَهُ مِنْ أَسْفَلِهَافَصَبَبْتُ عَلَيْهِ فَتَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّصَلَّى
Dari‘al-Mughirah bin Syu’bah , ia berkata:”Aku sedang bersama Rasulullah Saw dalam safar. Maka Rasulullah berkata’,wahai Mughirah ambilkanlah kantung air’.Maka aku mengambil kantung air. Setelah itu Rasulullah Saw pergi ketempat jauh hingga tidak tampak dari pandanganku, lalu Beliau buang hajat. Saat itu Beliau memakai jubah syamiyah, lalu hendak mengeluarkan tangannya dari lengan jubahnya.Karena lengan jubahnya sempit, maka beliau Saw mengeluarkan  tangannya dari bawah jubahnya, lalu aku menuangkan air untuknya, lalu beliau Saw berwudlu untuk shalat dan mengusapsepatunya, lalu akhirnya Beliau Saw melaksanakan shalat.” (HRBukhari,Muslim, Ahmad,an-Nasai,Ibnu Khuzaimah,al-Baihaqi, Abi ‘Awanah,at-Thabrani,‘Abdu Razzaq,ad-Darimi,Abi Syaibah)
Haditstersebut di atas merupakan isyarat bahwa Rasulullah Saw sering memakai jubah.
 
8. حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِأَبُو عُمَرَ مَوْلَى أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِى بَكْرٍ قَالَ رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ فِىالسُّوقِ اشْتَرَى ثَوْبًا شَامِيًّا فَرَأَى فِيهِ خَيْطًا أَحْمَرَ فَرَدَّهُ فَأَتَيْتُأَسْمَاءَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهَا فَقَالَتْ يَا جَارِيَةُ نَاوِلِينِى جُبَّةَ رَسُولِاللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. فَأَخْرَجَتْ جُبَّةَ طَيَالِسَةَ مَكْفُوفَةَ الْجَيْبِوَالْكُمَّيْنِ وَالْفَرْجَيْنِ بِالدِّيبَاجِ.
Mengabarkankepada kami ‘Abdullah Abu ‘Umar Maula Asma’ binti Abu Bakar, ia berkata:”Aku melihat Ibnu ‘Umar di pasar sedang membeli pakaian syamiyah, aku melihat ada benang merah pada jubahnya.Maka aku pergi meninggalkannya untuk menemui Asma’,lalu akupun menceritakan hal tersebut padanya. Maka Asma’ pun berkata’wahai jariyah (pembantu) ambilkan untukku jubah Rasulullah Saw. Maka jariyah pun mengeluarkan/memperlihatkan sebuah jubah persia hijau yang mempunyai kelim/lipatan yang ada sakunya, juga ada lengan baju dan dua celah yang terbuat dari sutera.”(HRAbu Dawud) 


Haditstersebut di atas merupakan isyarat bahwa Rasulullah Saw sering memakai jubah.
Tambahan.Memakai sarung dalam aktivitas sehari-hari juga adalah sunnah Rasulullah Saw.,yang ditunjukkan oleh salah satu hadits di bawah ini :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ : خَطَبَنَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِعَرَفَاتٍ فَقَالَ مَنْ لَمْيَجِدِ الإِزَارَ فَلْيَلْبَسِ السَّرَاوِيلَ ، وَمَنْ لَمْ يَجِدِ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِالْخُفَّيْنِ.

DariIbnu ‘Abbas ra.,ia berkata:”Rasulullah Saw berkhutbah kepada kami saat dipadang ‘Arafah. Beliau bersabda:”Barang siapa yang tidak mempunyai sarung maka pakailah celana. Barang siapa yang tidak mempunyai sepasang sandal maka pakailah sepasang sepatu.”


Nabi s.aw. memakai berbagai jenis pakaian. Ada kalanya, baginda memakai jubah, hibarah (pakaian dari Yaman), malah memakai jubah buatan bangsa Romawi yang merupakan salah satu musuh umat Islam.


Hal ini menggambarkan sikap Islam sebagai agama universal yang menerima sebarang bentuk pakaian selagi mana ianya menutup aurat dan tidak mewakili agama sesuatu kaum (contohnya, dilarang memakai jubah sami agama Budha, jubah paderi, atau pakaian yang mempunyai simbol-simbol agama lain seperti salib, bintang Daud agama Yahudi).
Antara sunnah yang disyariatkan ialah memakai sebarang pakaian berwarna putih kerana hadis-hadis berkaitan pemakaian pakaian berwarna putih ini jelas menunjukkan bahawa Rasulullah s.a.w memerintahkan para sahabat supaya memakai pakaian berwarna putih; berbanding dengan hadis-hadis yang berkaitan jenis-jenis pakaian Rasulullah s.a.w.
Namun begitu, sikap mahu memakai jenis-jenis pakaian yang pernah dipakai oleh Nabi s.a.w adalah sifat yang terpuji sebagai tanda cinta dan kasih kepada baginda dan semoga dinilai sebagai ibadah oleh Allah s.w.t.

Tuesday 19 May 2015

Adakah yang Menangis Ketika Anggota Keluarganya Tidak Shalat?



Jagalah anak dan keluarga kita dari api neraka
“NAK, bangun, sudah siang, ayo siap-siap pergi sekolah!” Itulah kata-kata seorang ibu paruh baya – sebut saja namanya Maimunah – setiap pagi hari membangunkan anak-anaknya yang duduk di bangku sekolah menengah. Mereka tinggal di Kuala Lumpur. Maimunah dan suaminya berasal dari nenek moyang dan keluarga kampung santri di Indonesia.
Itulah tugas Maimunah,  yang selalu membangunkan tepat pada hingga anaknya selesai mandi dan sarapan, dan langsung bergegas menuju sekolah mengendarai sepeda motornya agar tidak terlambat masuk. Pekerjaan ini dilakukan setiap hari selama bertahun-tahun.
Bahkan hingga salah satu anaknya telah tamat dan bekerja di sebuah toko di pusat kota, setiap hari kerja ia tetap membangunkannya di pagi hari tapi dengan sedikit perbedaan. “Nak, bangun, sudah siang, ayo siap-siap kerja!”
Maimunah sendiri setiap hari selalu bangun sebelum adzan Subuh untuk menyiapkan sarapan pagi. Sebelum melakukan tugas rutinnya tersebut dia shalat.
Meskipun demikian tidak pernah membangunkan anak-anaknya yang semuanya telah remaja dan menyuruh mereka melaksanakan shalat Subuh. Suaminya pun demikian. Itu waktu shalat Subuh. Sedangkan mulai sore hingga malam ketika sang suami dan anak-anaknya ada di rumah, Maimunah dan suaminya juga tidak menyuruh mereka untuk segera shalat Ashar, Maghrib dan Isya. Mereka masing-masing asyik dengan berbagai aktivitasnya seperti menonton TV, mengobrol dan mengunakan laptop dan HP  yang membuat mereka seringkali mengakhirkan shalat. Itu adalah pemandangan yang biasa di lingkungannya.
Sanak saudara dan kenalan Maimunah dan suaminya, serta teman-teman anaknya yang berasal dari kampung yang sama di Indonesia dan tinggal dalam satu lingkungan di Kuala Lumpur mayoritas juga melakukan hal yang sama.
Itulah gambaran sebagian kaum Muslimin zaman modern ini yang tinggal di Kuala Lumpur kota yang penduduknya sama dengan  penduduk Jakarta yang lumayan gila kerja.
Mereka yang berasal dari keluarga dan nenek moyang santri yang peduli pada shalat tapi telah memutuskan rantai generasi yang peduli pada shalat dengan tidak peduli pada anak-anaknya yang tidak peduli pada shalat.
Ikatan Islam akan Lepas
Fenomena yang sama bisa dengan mudah kita temui di mana saja termasuk di Tanah Air kita yang merupakan negeri dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia.
Banyak dari generasi Muslim sekarang yang berkartu identitas Muslim tapi tidak beridentitas Muslim karena menyia-nyiakan shalat bahkan meninggalkan shalat sehingga mudah terbawa arus zaman modern yang serba permisif di mana perbuatan maksiat dianggap wajar – dan tidak sungkan-sungkan dilakukan secara terbuka.
Sebut saja merokok, meminum minuman keras, penyalahgunaan narkoba, korupsi, perkelahian antar pelajar atau anggota DPR/D, berpacaran, berhubungan seks di luar nikah, terlibat dalam pemerkosaan, menjadi pelaku homoseksual, dan terlibat dalam pornografi baik sebagai pelaku maupun pemakai dilakukan secara terbuka dan terang-terangan.
Perbuatan-perbuatan keji dan munkar bertentangan dengan fitrah manusia. Dilakukan tanpa malu –bahkan—mengkampanyekan di publik.
Di tengah zaman gila seperti ini, obat  yang tepat menghindari perbuatan keji dan munkar adalah dengan shalat yang benar. Karena itu setiap individu sebaiknya  berusaha agar pribadi, keluarga dan generasi penerusnya terhindar darinya. Sesuai dengan informasi dan jaminan dari Allah, hanya ada satu cara yang efisien dan efektif agar terhindar darinya, yaitu bukan sekadar melaksanakan shalat yang baik dan benar.  Karena salah satu efek dari mendirikan shalat adalah terhindar dari perbuatan keji dan mungkar.
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS: Al-‘Ankabuut [29]:45)
Masalahnya, apakah  masih ada orang di zaman modern ini yang peduli, bersedih hati dan menangis ketika mendapati generasinya – terutama anak cucu, anggota keluarganya– menyia-nyiakan shalat seperti halnya Anas bin Malik yang mengetahui ada orang-orang pada masa hidup beliau menyia-nyiakan shalat?
Alkisah, Anas bin Malik, sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam yang terakhir kali wafat di usia yang panjang (99 tahun) sehingga mengetahui kondisi zaman setelah sekian lama Rasulullah wafat ada orang-orang yang menyia-nyiakan shalat.
Az-Zuhri berkata, “Saya datang kepada Anas bin Malik di Damaskus, kebetulan ia sedang menangis. Lalu saya bertanya, ‘Mengapa engkau menangis?’ Ia menjawab, ‘Saya tidak tahu lagi amal yang kudapati di masa Nabi yang masih diindahkan (dipedulikan) orang sekarang, selain shalat itu pun sudah disia-siakan orang.’ (Di dalam riwayat lain: ‘Kamu telah menyia-nyiakan apa yang kamu sia siakan.)”

Bukannya sekadar tidak peduli, bersedih dan menangis, tapi justru mendukung anak-anaknya mengakhirkan bahkan tidak melaksanakan shalat. Itu sudah biasa dan jamak terjadi di zaman ini seperti kisah di atas.
Fenomena zaman sekarang yang begitu banyak orang yang tidak hanya dari kalangan muda tapi juga yang tua di negeri-negeri Muslim yang menyia-nyiakan shalat sesuai dengan informasi yang disampaikan ayat berikut ini.
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS: Maryam [19]:59)
Maryam beserta para nabi dan rasul yang disebutkan dalam surat Maryam ayat-ayat sebelum ayat ke 59 yakni Zakaria as, Yahya as, Isa as, Ibrahim as beserta para nabi dari keturunannya, Musa as, Harun as, Idris as, dan Nuh as – sebagaimana para nabi dan rasul lainnya – adalah  pribadi-pribadi yang ikhlas dalam menjalankan perintah Allah untuk mendapatkan ridha Allah. Kepribadian mereka dijelaskan dalam kalimat terakhir dari ayat ke 58 dalam surat yang sama:
إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَن خَرُّوا سُجَّداً وَبُكِيّاً
“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS: Maryam [19]:58)
Namun generasi-generasi sesudah mereka menyia-nyiakan shalat tapi lebih mengutamakan hawa nafsu, kehidupan dunia dan kesenangan duniawi.
Ternyata bukan mereka saja. Umat Muhammad yang hidup di akhir zaman ini  juga melakukan hal yang sama. Ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad berikut. 
Abu Said Al-Khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: “Akan datang suatu generasi sesudah enam puluh tahun, mereka melalaikan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, maka orang-orang ini akan menemui kecelakaan dan kerugian. Kemudian datang lagi suatu generasi, mereka membaca al-Qur’an tetapi hanya di kerongkongan (mulut) saja (tidak masuk ke hati) dan semua membaca al-Qur’an, orang mukmin, orang munafik dan orang-orang jahat dan fasik (tidak dapat lagi dibedakan mana orang mukmin sejati dan mana orang yang berpura-pura beriman).” (HR:Ahmad, Ibnu Hibban dan Hakim)
Dalam sebuah hadits lain, Rasulullah bersabda,  Abu Umamah al Bahiliy bahwa Rasulullah bersabda;  ”Ikatan-ikatan Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan Islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat.” (HR: Ahmad)
Semoga di akhirat kelak, diri, keluarga, kerabat dan generasi penerus kita tidak dikumpulkan bersama Fir’aun dan Haman. Untuk itu senyampang nyawa masih dikandung badan ajak diri sendiri dan mereka untuk tidak mengabaikan shalat.
Allah telah mewajibkan shalat lima waktu kepada hamba-Nya. Kata Nabi, “Barangsiapa menunaikan shalat pada waktunya, maka di Hari Kiamat shalat itu akan menjadi cahaya dan bukti baginya. Dan barang siapa mengabaikannya, maka ia akan dikumpulkan bersama Fir’aun dan Haman.” (HR: Ibnu Hibban dan Ahmad).*
Penulis Abdullah al-Mustofa, peneliti pada Islamic Studies Forum for Indonesia (ISFI) di Kuala Lumpur,  Malaysia, pengelola fanspage FB SBQ (Sukses Bersama Qur’an)
Rep: Huda Ridwan
Editor: Cholis Akbar.

Para Jurnalis Berdakwahlah untuk Kemuliaan Islam

Para Jurnalis Berdakwahlah untuk Kemuliaan Islam Jika seorang jurnalis Muslim menulis sesuatu yang salah secara sengaja terhadap Islam, tulisan itu akan dibaca oleh banyak manusia bahkan mungkin dari generasi ke generasi
SUDAH bukan rahasia lagi bahwa dunia media, baik di tanah air maupun di dunia internasional umumnya cukup sering menggambarkan Islam secara sepihak. Akibatnya umat Islam menjadi komunitas yang selalu mendapat sorotan yang tidak semestinya.
Jika itu terjadi pada dunia internasional, mungkin masih bisa dimaklumi, karena hegemoni Amerika dan Eropa terhadap pemberitaan sungguh sangat kuat. Tetapi, jika hal serupa terjadi di tanah air, maka di sini ada satu pertanyaan besar, mengapa bisa terjadi? Padahal, para jurnalis di tanah air, sebagian besar juga beragama Islam.
Tentu ini suatu kecerobohan. Sebab setiap Muslim pada hakikatnya berkewajiban mendakwahkan kebenaran Islam bukan malah menjatuhkannya, apalagi hanya atas nama profesi dan ambisi. Karena dakwah di zaman modern tidak saja melalui mimbar Masjid, tetapi yang lebih massif adalah melalui media.
Rasulullah telah memberikan perintah kepada setiap Muslim untuk menyampaikan kebenaran walau satu ayat. Jadi, dakwah tidak saja tugas para da’i, ustadz atau ulama semata, tetapi juga para jurnalis dan pegiat media.
Berarti, seorang jurnalis terkena kewajiban mendakwahkan Islam meski hanya satu ayat. Apalagi, tulisan seorang jurnalis akan dibaca oleh ribuan bahkan mungkin jutaan mata. Jika benar yang ditulisnya, maka pahala besar telah menantinya. Sebaliknya, jika salah dengan disengaja, maka neraka siap melahapnya.
Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang menyeru pada kebaikan di dalam Islam, baginya pahala atas perbuatan baiknya itu dan pahala dari orang-orang yang mengikuti jejak kebaikannya itu tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Siapa saja yang menyeru pada keburukan di dalam Islam, baginya dosa atas perbuatan buruknya itu dan dosa dari orang-orang yang mengikuti jejak keburukannya itu tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka.” (HR Muslim).
Menyeru Kepada Kebenaran
Dengan demikian, dakwah (apalagi di zaman modern seperti sekarang) juga menjadi tanggung jawab para jurnalis Muslim. Oleh karena itu, sangat penting dan mendesak bagi setiap jurnalis Muslim untuk benar-benar menjadikan profesi jurnalisnya sabagai media untuk meraih keridhoan-Nya. Apalagi, ganjaran bagi jurnalis yang mendakwahkan Islam sungguh sangat luar biasa.
Pernah suatu ketika, Rasulullah shallahu alayhi wasallam bersabda, “Wahai Ali, sungguh sekiranya Allah memberi hidayah kepada seseorang karena dakwahmu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah.” (HR. Bukhari-Muslim).
Unta merah kala itu adalah unta yang paling didamba masyarakat Arab. Mungkin di zaman sekarang, unta merah sama dengan kendaraan terbaik dan termahal kelas dunia. Tetapi, kemewahan kendaraan itu sama sekali tidak berarti jika dibanding dengan nikmat hidayah.
Artinya, menuliskan kebenaran tentang Islam kemudian banyak orang yang tersadarkan dengan tulisan tersebut sungguh sangat mulia. Jadi, sudah semestinya setiap jurnalis memanfaatkan profesinya untuk meraih kemuliaan tersebut.
Di dalam al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman;
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Hai anakku, dirikanlah shalat, dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman [31]: 17).
Ayat tersebut secara gamblang memerintahkan setiap Muslim unguk amar ma’ruf nahi mungkar. Di sini jurnalis tentu termasuk di dalamnya, karena pekerjaannya adalah menulis yang tulisannya akan dibaca banyak orang. Jadi, seorang jurnalis secara langsung berkewajiban untuk mengajak manusia pada kebaikan dan menjauh dari kemunkaran. Bukan sebaliknya.
Tugas para jurnalis (atau da’i pena) adalah meluruskan segala macam bentuk pemberitaan yang tidak benar yang dituduhkan terhadap Islam dan umat Islam. Tugas ini harus diperhatikan betul oleh para jurnalis Muslim.
Identitas seorang jurnalis Muslim itu melekat di setap dada wartawan/redaktur/penulis dan jajaran pengelola media selama dirinya beridentitas seorang Muslim. Enteh medianya umum –bahkan media sekuler– sekalipun. Sebab sebagai seorang Muslim, kemuslimannya akan ditanya di akherat, bukan di media mana dia bekerja.
Bahkan, menurut pakar peradaban itu, menulis atau dakwah bil qolam adalah bagian dari bentuk jihad fi sabilillah. Jadi, betapa ruginya jika ada seorang Muslim berprofesi sebagai jurnalis, tetapi tidak mau tahu (tidak peduli) terhadap segala macam tuduhan miring yang ditimpakan kepada umat Islam dan Islam itu sendiri.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah amanah Allah Subhanahu Wata’ala kepada seluruh umat Islam (QS. 3 : 110). Jika tidak, maka akan diharamkan keberkahan wahyu (al-Qur’an) dalam kehidupan kita.
Tentu ini bukan perkara tanpa rintangan, apalagi jika seorang Muslim berada pada media yang tidak memiliki visi dakwah. Di sinilah kita patut merenungkan dengan kedalaman hati apa yang dipesankan Luqman kepada putranya (generasinya) agar bersabar dengan apa yang menimpa, sebagai konsekuensi dari menjalankan perintah Allah untuk amar ma’ruf nahi munkar.
Allah Ta’ala berfirman;
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An Nahl [16]: 125).
Kekuatan Tulisan
Pepatah Yunani mengatakan, verba volant scripta manent (ucapan akan hilang, sementara tulisan akan abadi). Bisa dibayangkan jika seorang jurnalis Muslim menulis sesuatu yang salah secara sengaja terhadap Islam, tulisan itu akan dibaca oleh banyak manusia bahkan mungkin dari generasi ke generasi. Jika itu benar-benar terjadi, maka terancam sia-sia amal ibadah yang telah dilakukannya. Karena tulisan itu akan merusak cara berpikir orang lain.
Maka dari itu, selagi masih hidup di dunia, mari kita gunakan profesi sebagai seorang jurnalis untuk mendapatkan keridhoan Allah Ta’ala. Zaman dahulu memang belum ada surat kabar, tetapi para ulama tak pernah berhenti untuk menulis.
Seorang Fakhrudin Al-Razi misalnya, beliau mampu menulis kitab tidak kurang dari 120 judul dalam berbagai macam disiplin ilmu. Semangat menulis itu hampir merata pada seluruh ulama kala itu, mulai dari Imam Hanafi hingga Imam Ghazali, mulai dari Ibn Sina hingga Buya Hamka. Hal ini menunjukkan bahwa tulisan memiliki peran sangat vital.
Terkait dengan hal ini, Imam Zarkasyi, mengatakan, “Andaikata murid saya tinggal satu, akan tetap saya ajar. Yang satu ini sama dengan seribu,. Jika yang satu ini pun tidak ada, saya akan mengajar dunia dengan pena.”
Jika mereka yang ulama memiliki tekad luar biasa dalam kepenulisan, sudah selayaknya para jurnalis tidak kalah bersemangat untuk melakukan hal yang sama. Paling tidak jangan menulis hal-hal yang bisa menciderai umat Islam atau merusak ajaran Islam. Apalagi secara sadar lebih memilih mengikuti arus sekularisme-liberalisme yang membawa agenda deislamisasi.
Para jurnalis harus belajar kepada para ulama dalam semangat menulis kebenaran. Satu di antaranya adalah Imam Ghazali. Ia berusaha sekuat tenaga untuk membawa umat Islam dari keterpurukan. Akhirnya, keluarlah karya monumentalnya, Ihya Ulumuddin yang 50 tahun kemudian menjadi inspirasi penting bagi Shalahuddin Al-Ayyubi untuk membawa Palestina menuju kemerdekaan dari penjajahan tentara Salib Eropa.
Jadi, menulislah dengan niat memuliakan Islam, bukan mengajak orang untuk salah paham apalagi membenci Islam, hanya karena tulisan kita keliru, disalahpahami atau justru karena kekeliruan bahasa yang kita gunakan.
Pertanyaannya, jika Anda saat ini bekerja di media massa, apa yang akan Anda bawa kelak di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala atas semua huruf, kata, kalimat, opini, foto, berita yang telah Anda siarkan? Apakah semua berita yang kita tulis itu telah mendapat ridho Allah Subahanahu Wata’ala atau hanya untuk menyenangkan sang redaktur/pimred atau pemilik perusahaan?
Benarkah semua itu akan membantu kita lebih memudahkan hisab kita di yaumul qiyamah atau justru sebaliknya akan menyulitkan kita dalam mahkamah Allah Subhanahu Wata’ala?*/Imam Nawawi
Rep: Imam Nawawi
Editor: Cholis Akbar

Sekali lagi, Perhatikanlah Siapa Teman di Sekelilingmu!

Ahmad bin Harb berkata, “Tidak ada yang bermanfaat bagi hati seorang hamba selain bergaul dengan orang-orang shalih dan menyaksikan amal mereka

Sekali lagi, Perhatikanlah Siapa Teman di Sekelilingmu! SIAPAKAH teman-teman kita? Apakah mereka mendatangkan ketentraman, kebahagiaan, dan semakin mendekatkan kita kepada Allah? Atau justru sebaliknya, mereka menjadi sumber kegelisahan, kesedihan, kelalaian dan menjauhkan kita dari Allah Subhanahu Wata’ala dan akhirat?
Mari sejenak merenungkan diri kita sendiri, juga orang-orang di sekitar kita, selagi Allah masih memberi kesempatan. Sebab, hidup ini hanya sekali. Tidak ada peluang kedua.
Sebagai Muslim, kita telah diajari bagaimana menilai teman-teman kita. Tersedia sebuah kriteria sederhana dan praktis.
Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada para Sahabat, “Maukah kalian kuberitahu siapa orang-orang terbaik di antara kalian?” Mereka menjawab, “Mau, ya Rasulullah.” Beliau melanjutkan, “Yaitu, orang-orang yang jika mereka terlihat (oleh kalian), maka mengingatkan kepada Allah.” Beliau kemudian bersabda lagi, “Maukah kalian kuberitahu siapa orang-orang terburuk di antara kalian? Yaitu, orang yang kesana-kemari menebar fitnah, yang suka merusak kesetiaan di antara orang-orang yang saling mencintai, dan yang mengusahakan timbulnya kerusakan serta dosa di tengah-tengah orang-orang yang bersih (kehidupannya).” (Hadits riwayat Ahmad, sanad-nya hasan li ghairihi).
Jadi, menurut beliau, ciri khas orang yang baik adalah jika kita melihat mereka maka kita akan teringat kepada Allah.
Berapa banyak orang seperti ini di sekitar kita; yang kepribadian serta tindakannya menyejukkan hati dan meningkatkan keimanan, menambah rasa syukur dan menenangkan jiwa? Berapa banyak orang yang membuat kita segan bermaksiat di dekatnya, membuat kita lebih berhati-hati, dan menyemangati ibadah? Atau, justru sebaliknya, justru lebih banyak orang yang semakin menjauhkan kita dari Allah, menambah kegilaan kepada dunia, merongrong jiwa dan mengotori hati, mengobarkan syahwat dan mengerdilkan taqwa? Dan, jika kriteria ini diterapkan kepada diri kita sendiri, sebenarnya termasuk kelompok manakah kita?
Maka, sangat baik bagi kita untuk selalu mawas diri. Sebab, hati manusia sebenarnya sangat lemah dan mudah berubah. Oleh karenanya, hati disebut al-qalbu dalam bahasa Arab, artinya berbolak-balik. Dan, itulah gambaran dari hati manusia yang sesungguhnya.
Cobalah hal paling sederhana. Bukalah surat kabar hari ini, dan bacalah. Mungkin, awalnya Anda geregetan oleh tingkah para koruptor; setelah itu iba menyaksikan para korban bencana alam; selanjutnya terkagum-kagum oleh berita sains-teknologi; lalu dibuat heran oleh isu-isu dunia selebritis; dan kemudian disuguhi ulasan-ulasan olahraga yang beraneka ragam. Dalam sekali duduk, sudah berapa kali hati kita berubah? Bagaimana jika sehari?
Oleh karenanya, kita perlu memperhatikan baik-baik pengaruh macam apa yang akan memasuki hati kita. Ahmad bin Harb berkata, “Tidak ada yang bermanfaat bagi hati seorang hamba selain bergaul dengan orang-orang shalih dan menyaksikan amal mereka. Sebaliknya, tidak ada yang berbahaya bagi hati seorang hamba selain bergaul dengan orang-orang fasiq (ahli maksiat) dan melihat amal mereka.”
Itu bermakna pula, bahwa kita bisa memutuskan sejak masih di dunia ini siapa saja yang kelak menjadi teman-teman kita di akhirat. Dengan izin Allah, kita pasti akan bersama-sama dengan mereka disana. Sebagai misal, jika di dunia ini kita selalu bersama orang-orang yang tidak memperdulikan shalat, hidup penuh kesia-siaan, dan tidak mengenal halal-haram, sementara kita sendiri tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan justru larut, maka apakah yang bisa diharapkan pada Hari Perhitungan kelak? Jelasnya, pengaruh teman memang tidak bisa diabaikan.
Ibnu Abi Dunia meriwayatkan dalam kitab al-Ikhwan, bahwa Washil maula Abu ‘Uyainah berkata: aku pernah bersama Muhammad bin Wasi’ di Marw. Lalu, ‘Atha’ bin Abu Muslim al-Khurasani mendatangi beliau bersama anaknya, ‘Utsman. ‘Atha’ kemudian berkata kepada Muhammad, “Amal apakah yang paling utama di dunia ini?” Beliau menjawab, “Menemani teman dan bercakap-cakap dengan saudara, apabila mereka saling bersahabat di atas kebajikan dan takwa.” Beliau melanjutkan, “Pada saat itu, Allah akan menghadirkan kemanisan di antara mereka, sehingga mereka terhubung dan saling menyambungkan hubungan. Tidak ada kebaikan dalam menemani teman dan bercakap-cakap dengan saudara jika mereka adalah budak dari perutnya masing-masing, sebab jika mereka seperti ini maka satu sama lain akan saling menghalangi dari akhirat.”
Dengan kata lain, segenap persahabatan, pernikahan, organisasi, parpol, juga kehidupan berbangsa dan bernegara, hanya akan melahirkan kebahagiaan jika masing-masing orang di dalamnya diikat oleh nilai-nilai kebajikan dan ketakwaan.
Sebaliknya, jika mereka hanya terikat oleh “kepentingan perutnya”, maka hasilnya pasti runyam. Setiap orang akan dengan mudah saling mengintai dan menjegal demi keuntungan pribadinya. Jangankan saling menolong, saling perduli pun tidak. Yang ada hanyalah jiwa-jiwa oportunis. Tentu saja, semua orang akan merasa terancam dan tidak tenang, sehingga kebahagiaan hakiki sukar didapatkan.
Oleh karenanya, Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk mengedepankan kriteria “ketaatan beragama” dalam memilih pasangan (suami/istri). Logika di baliknya cukup jelas, sebab ketaatan beragama merupakan benih tanaman kebajikan, ketakwaan, dan akhlak mulia; yang seterusnya akan membuahkan kebahagiaan. Jika sebuah pernikahan tidak memperdulikan aspek ini, maka ia hanya merupakan “kontrak” yang menjemukan dan memenjara. Tidak lama lagi keduanya akan bosan, dan justru sangat bersyukur jika bisa bercerai secepat mungkin. Subhanallah!
Maka, perhatikanlah siapa orang-orang di sekitar kita. Sebab, kebahagiaan kita – baik di dunia maupun akhirat – turut ditentukan oleh mereka. Wallahu a’lam.*/Alimin Mukhtar
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Bertanyalah Dalam Hati: Apakah Allah Ridha dengan Pekerjaanku Saat Ini?

Bertanyalah Dalam Hati: Apakah Allah Ridha dengan Pekerjaanku Saat Ini? Pekerjaan kasar yang mengandalkan otot sama mulianya dengan pekerjaan intelektual, asalkan halal. Dan, tentu saja bekerja jauh lebih baikdibanding mengemis, bagaimana pun caranya. SYU”AIB bin Harb berkata: “Jangan menyepelekan uang receh (fulus) yang engkau dapatkan dengan cara menaati Allah di dalamnya. Bukan uang receh itu yang akan digiring (menuju Allah), akan tetapi ketaatanmu. Bisa jadi dengan uang receh itu engkau membeli sayur-mayur, dan tidaklah ia berdiam di dalam rongga tubuhmu hingga akhirnya dosa-dosamu diampuni.” (al-Hatstsu ‘ala at-Tijarah wa ash-Shina’ah, karya Abu Bakr al-Khallal).
Dari pesan di atas bisa diambil benang merah jika baik buruknya suatu perkerjaan di mata Allah bukanlah dinilai dari besar kecilnya gaji yang diperoleh, akan tetapi dari cara kita melakukannya. Pertanyaan mendasar yang harus dicamkan adalah, “Apakah Allah ridha dengan pekerjaan saya ini?” Inilah cara berpikir seorang Muslim, sebagaimana diajarkan Nabinya; bukan menuruti logika materialis ateis yang hanya mengedepankan pragmatisme.
Cara berpikir pragmatis tak bertuhan inilah yang membuat sebagian orang dengan berani menyebut perzinaan sebagai “pekerjaan”, seolah-olah hendak menyamakannya dengan profesi guru, petani, pedagang, advokat atau birokrat. Bukankah sebagian besar kita telah terbiasa menyebut PSK (Pekerja Seks Komersial), dibanding menyebut pelacur atau pezina? Astaghfirullah!
Bekerja mendapatkan rezeki yang halal adalah kebajikan, apapun bentuk dan derajatnya di mata manusia. Bahkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikannya sebagai salah satu kewajiban bagi umatnya. Beliau bersabda, “Mencari yang halal adalah kewajiban setiap Muslim.” (Riwayat Thabrani dalam al-Awsath, dari Anas bin Malik. Menurut al-Haitsami: isnad-nya hasan).
Dengan demikian, pekerjaan yang halal sama dengan beribadah. Setiap tetes keringat akan dihargai dengan pahala berlipat ganda. Apapun yang dihasilkannya menjadi berkah, dan semakin menguatkan tali perhubungan dengan Sang Pencipta. Rasulullah bersabda,
“Sungguh, tidaklah engkau memberikan nafkah yang dengan itu engkau mengharapkan wajah Allah, melainkan engkau pasti diberi pahala, bahkan terhadap (sesuap makanan) yang engkau suapkan ke mulut istrimu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim, dari Sa’ad bin Abi Waqqash).
Pekerjaan kasar yang mengandalkan otot sama mulianya dengan pekerjaan intelektual, asalkan halal. Dan, tentu saja bekerja jauh lebih baik dibanding mengemis, bagaimana pun caranya.
Anas bin Malik bercerita, bahwa seseorang dari kaum Anshar datang kepada Nabi untuk meminta-minta. Beliau pun bertanya, “Tidak adakah sesuatu apa pun di rumahmu?” Ia menjawab, “Ya, ada. Kain alas pelana yang sebagian kami buat pakaian dan sebagian lagi kami hamparkan (untuk tikar), serta gelas besar yang kami gunakan untuk minum.” Beliau bersabda, “Bawalah keduanya kepadaku.” Ia kemudian membawanya. Beliau mengambilnya dengan tangan beliau dan berkata, “Siapa yang mau membeli kedua barang ini?” Seorang laki-laki berkata, “Saya membelinya dengan satu dirham.” Beliau berkata, “Siapa yang menambah lebih dari satu dirham?” Beliau mengatakannya dua atau tiga kali. Seorang laki-laki berkata, “Saya membelinya dengan dua dirham.” Kemudian beliau memberikannya kepada orang tersebut, dan mengambil uang dua dirham. Beliau memberikan uangnya kepada orang Anshar itu dan bersabda, “Belilah makanan dengan satu dirham kemudian berikan kepada keluargamu, dan belilah (mata) kapak lalu bawalah kepadaku.” Orang itu membawa (mata) kapaknya kepada Nabi, lalu mengikatkan sebatang kayu padanya dengan tangan beliau sendiri. Beliau bersabda, “Pergilah, kemudian carilah kayu dan juallah. Jangan sampai aku melihatmu selama lima belas hari.” Orang itu pun pergi mencari kayu serta menjualnya, lalu datang lagi dan telah memperoleh uang sepuluh dirham. Sebagian ia belikan pakaian, sebagian lagi makanan. Kemudian Rasulullah bersabda, “Ini lebih baik bagimu daripada sikap meminta-minta itu kelak berubah menjadi noktah di wajahmu pada Hari Kiamat. Sungguh, meminta-minta itu tidak layak kecuali bagi tiga (jenis) orang, yaitu: orang fakir yang sangat melarat, atau orang yang terbebani hutang sangat berat, atau orang yang menanggung diyat (biaya tebusan atas pembunuhan) sementara ia tidak mampu membayarnya.” (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Sebaliknya, pekerjaan yang terkesan mentereng dan bergaji besar, sangat boleh jadi hanya akan menjadi beban dosa dan kehinaan jika tidak diridhai Allah. Dari waktu ke waktu hanya akan memicu kegersangan, kekacauan, dan berakhir sebagai siksa tak terperikan. Semakin digeluti semakin menggelisahkan, sebab dosa-dosanya semakin menumpuk. Dalam tafsir Zaadul Masir dikatakan bahwa pekerjaan yang haram adalah bagian dari siksa Allah, yaitu “kehidupan yang sempit” sebagai akibat dari kelalaian, keberpalingan, dan meninggalkan tuntunan Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً
قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya bisa melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.” (QS: Thaha [20]: 124-126).
Dengan kata lain, menurut Islam, kehidupan yang lapang, pertama-tama bukan diukur dari lapangnya materi, namun dari aspek keselarasan kehidupan itu dengan tuntunan Allah. Baru setelahnya, aspek-aspek lain mengikuti. Entah melarat atau kaya-raya, jika kehidupan seseorang tidak sejalan syari’at, maka layak disebut sebagai “kehidupan yang sempit”. Sama juga, apakah fakir atau serba berkecukupan, kehidupan yang mengikuti aturan Allah adalah “kehidupan yang lapang”. Wallahu a’lam.* (M. Alimin Mukhtar, pengajar di Ar-Rahmah Boarding School, Pesantren Hidayatullah Malang)
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Inilah Karakter yang Harus Dimiliki Para Pendidik!


Inilah Karakter yang Harus Dimiliki Para Pendidik!

“Jika seorang manusia meninggal dunia, maka pahala amalnya akan terputus, kecuali tiga hal: Shadaqah Jariyyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya

PROBLEM karakter dan moral di zaman ini tidak saja melanda mereka yang masih berstatus sebagai pelajar, tetapi juga orang tua, termasuk para guru yang dikenal sebagai pendidik. Kasus terbaru tentang pelecehan seksual yang dilakukan oknum guru kepada murid di Jakarta, menambah statistic tercorengnya dunia pendidikan kita.
Tentu, kita semua prihatin terhadap masalah seperti itu. Belum lagi kalau melihat para guru turun ke jalan menuntut hak-hak mereka, sedih rasanya. Mengapa nasib para guru di negeri ini sungguh sangat memprihatinkan, sampai-sampai mereka yang terhormat harus sama seperti buruh pabrik.
Terlepas dari apapun problem yang melanda dunia pendidikan saat ini. Kewajiban setiap guru adalah melahirkan generasi Qur’ani, generasi Rabbani. Jadi, sudah semestinya setiap guru memperhatikan apa saja yang perlu diupayakan agar profesinya sebagai guru benar-benar dapat mendatangkan berkah dan ridha Allah Subhanahu Wata’ala.
Niat Tulus Lillahi Ta’ala
Kendala apapun Terlepas dari apapun yang kini menjadi kekurangan dunia pendidikan, termasuk perhatian pemerintah terhadap guru, serta banyaknya kualitas guru yang belum sesuai harapan, tidak mengharuskan para guru salah pilih dalam mengambil keputusan. Para guru harus tetap optimis.
Sebab hakikat kehidupan ini sesungguhnya bukan ada di dunia, tetapi di akhirat. Maka dari itu mari kembali melihat niat kita menjadi guru. Apakah niat menjadi guru memang untuk hidup mewah atau ingin melahirkan generasi rabbani? Jika kita ingin mendapat ridha Allah dengan menjadi guru, sungguh pilihan itu adalah pilihan yang sangat mulia.
Menurut Abu Dawud niat dalam Islam adalah separuh dari agama Islam. Artinya, niat adalah perkara penting. Dan, siapa saja yang ingin mendapat kebahagiaan yang hakiki hendaknya setiap amal perbuatannya diniatkan karena Allah Subhanahu Wata’ala. Karena setiap pekerjaan tergantung pada niat.
Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari Muslim).
Membangun Karakter Dasar
Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Tarbiyatul Aulad dikatakan bahwa seorang guru hendaknya memiliki lima karakter dasar.
Pertama, IKHLAS. Para guru hendaknya mencanangkan niatnya semata-mata untuk Allah dalam seluruh pekerjaan edukatifnya, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan ataupun hukuman.
Ikhlas itu “melupakan pandangan manusia dengan selalu memandang kepada Allah Subhanahu Wata’ala” sebagaimana sabda Nabi; “Engkau beribadah kepada Allah seakan akan engkau melihat-Nya dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Ia melihatmu.”
Dalam konteks ikhlas ini Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang dikerjakan secara tulus (ikhlas), semata-mata untuk-Nya, dan mengharapkan keridhaan-Nya.” (HR. Abu Dawud).
Kedua, TAKWA. Setelah ikhlas, seorang guru harus takwa sebagaimana telah didefinisikan oleh para ulama, yaitu: menjaga agar Allah tidak melihatmu di tempat larangan-Nya, dan jangan sampai Anda tidak didapatkan di tempat perintah-Nya. Mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan larangan-Nya.
وَأَنْ أَقِيمُواْ الصَّلاةَ وَاتَّقُوهُ وَهُوَ الَّذِيَ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Dirikannya shalat serta bertakwa kepadaNya.” [QS: al an’am: 72]
Dalam bahasan takwa ini, Umar bin Khaththab pernah berdialog dengan Ubay bi Ka’ab. Sayyidina Umar bertanya, “Apa yang dimaksud takwa itu?” Ubay pun menjawab, “Apakah kamu pernah berjalan pada jalan yang berduri?”
Umar menjawab, “Ya, pernah”. Ubay pun bertanya lagi, “Apa yang kamu lakukan?” “Aku singkirkan duri itu,” jawab Umar. Ubay pun berkata, “Itulah takwa”.
Begitu pentingnya takwa ini, Allah Ta’ala pun mengulang-ulangnya dalam banyak ayat. Sekedar untuk menyebut di antaranya teradapat pada QS. 3: 102, QS. 33: 70, QS. 59 : 18, dan QS 22 : 1.
Oleh karena itu kriteria manusia yang paling mulia dalam Islam bukanlah mereka yang memegang kekuasaan atau pun menguasai harta kekayaan, tetapi siapa yang paling takwa.
Rasulullah bersabda, “Ditanyakan, wahai Rasululah: siapakah manusia yang paling mulia?” Rasulullah bersabda, “Yang paling takwa di antara mereka”.
Lebih spesifik Rasulullah juga berpesan takwa kepada para guru. “Takwalah kepada Allah, berlaku adillah kepada anak-anakmu, sebagaimana kamu menginginkan mereka semuanya berbakti kepadamu.” (HR. Thabrani).
Jadi, sangat penting setiap guru memiliki mental takwa ini. Jika tidak, maka anak akan tumbuh menyimpang, terombang-ambing dalam kerusakan, kesesatan dan kebodohan. Logikanya sederhana, bagaimana anak murid akan takwa jika gurunya justru tidak memberi keteladanan.
Ketiga, ILMU. Hal ini sudah barang tentu tidak perlu dibahas panjang lebar. Karena guru adalah penyampai ilmu maka sudah selayaknya guru gemar menuntut ilmu. Sebab menuntut ilmu dalam Islam adalah kewajiban.
Keutamaan lain yang bisa diperoleh seorang pendidik adalah pahala yang tidak terputus, selama ilmu yang ia ajarkan terus diamalkan dan diajarkan kepada orang lain. Hal ini sebagaimana disabdakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika seorang manusia meninggal dunia, maka pahala amalnya akan terputus, kecuali tiga hal: Shadaqah Jariyyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat, SABAR. Termasuk sifat mendasar yang dapat menolong keberhasilan guru dalam tugas mendidik adalah sifat sabar, yang dengan sifat itu anak akan tertarik kepada gurunya. Dengan kesabaran, anak murid akan berhias dengan akhlak yang terpuji, dan terjauh dari perangai tercela. Apalagi, mengajar anak di zaman sekarang, yang nota bene lebih banyak menguras energi dan perasaan.
Oleh karena itu, Allah memberikan peringatan berulang kali kepada kita agar tetap sabar dalam upaya apapun, lebih-lebih dalam mendidik generasi masa depan. Jadi, apapun tantangan dan hambatan seorang guru dalam mendidik hendaknya sabar menjadi pilihan utama.
“Kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. 11 : 11).
Kelima, BERTANGGUNG JAWAB. Tanggung jawab ini menurut Nashih Ulwan meliputi aspek keimanan, tingkah laku keseharian, kesehatan jasmani-ruhani, maupun aspek sosialnya. Jadi, bukan semata-mata tanggung jawab guru konseling jika ada anak tidak disiplin. Semua guru, termasuk kepala sekolah turut bertanggung jawab. Karena setiap guru adalah pemimpin bagi anak muridnya.
Dalam hal ini Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang kepemimpinannya, apakah dipelihara atau disia-siakan-nya, sehingga bertanya kepada laki-laki tentang keluarganya.” (HR: Ibn Hibban).
Ketika seorang guru memiliki lima karakter mendasar sebagai pendidik, insya Allah kerusakan, kelemahan atau kekurangan di dunia pendidikan dapat dieliminir secara menyeluruh. Karena sebagus apapun sistim pendidikan, jika gurunya tidak memiliki karakter dasar itu, maka terseok-seoklah pendidikan kita. Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar